Jumat, 10 Oktober 2014

Merantau Untuk Kembali Pulang #2 Pangandaran

Pangandaran merupakan tempat yang ramah. Banyak homestay yang harganya terjangkau, mulai dengan harga Rp 75.000,- hingga Rp 150.000,- per malam. Semakin malam, pantai semakin ramai. Ada jasa rental AVP, ada juga rental sepeda gandeng. Di sisi lain pantai terlihat kerumunan orang yang bakar jagung atau sekedar menikmati suasana di tepi pantai.

Pangandaran mempunyai tempat bernama Cagar Alam Pangandaran. Rusa-rusa berkeliaran bebas di dalam dan di luar cagar alam. Ada pantai pasir putih yang indah di sana. Adapula yang menawarkan snorkeling dengan hanya mengeluarkan uang Rp 50.000,- dan sudah termasuk perlengkapannya. Tempat inilah yang jadi tempat rekreasi kami berempat di akhir pekan.

Kebetulan kantor pusat saya kerja dekat dengan pantai Pangandaran. Kos saya juga tidak jauh dari kantor pusat. Seorang ibu berumur sekitar 50 tahun adalah pemilik kos dimana saya tinggal. Anak sulungnya adalah seorang tentara sehingga jarang pulang ke rumah. Sedangkan anak bungsunya adalah seorang guru di Bandung, mengikuti jejak suaminya. Hanya ibu kos yang tinggal di rumah, seorang diri. Saya bayangkan betapa sepinya jika tidak ada penghuni kos yang tinggal di rumahnya.

"Neng, dimakan ya sarapannya?" Senyum ramah terukir dari Bu Lisna, pemilik kos.
"Oh iya bu... terima kasih." Saya membalas senyum ramahnya.

Betapa baiknya Bu Lisna setiap hari menghidangkan sarapan untuk anak-anak kosnya. Tidak hanya sarapan, tetapi makan siang dan makan malam pun disajikan buat kami. Sosok bu Lisna mengingatkan saya pada seorang nenek di Balikpapan, kalimantan Timur. Seseorang yang baik, hangat dan ramah, terutama pada cucu-cucunya.

"Ibu sekarang sudah punya cucu berapa? "Tanya saya mengawali percakapan pagi yang cerah.
"Oohh... Ibu sekarang punya 4 cucu, kalau libur panjang suka pada pulang ke sini. Ibu kalau nggak ada kalian, sepi sekali di rumah ini." Senyum ramahnya masih mengambang di wajah yang penuh kerutan akibat dimakan usia. Tatapan matanya seolah ingin mengatakan sesuatu yang selama ini terpendam di hatinya.

Percakapan pagi yang singkat namun bermakna itu tiba-tiba membuat hati ini seperti ditancap. Teringat oleh orang tua yang ada di rumah. Mengapa mereka tetap bersikeras melarang anaknya bekerja jauh dari rumah? Tetap bersikeras memaksa anaknya untuk bekerja di tempat yang diminati kebanyakan orang, yaitu PNS. Alasan itulah yang akan saya cari di perjalanan ini.

***
Adalah Dhanty, teman satu kos, bertubuh tambun dan penggemar nasi Padang. Krista, tidak pernah lepas dari perlatan make up yang tiap hari dibawa kemana-mana. Dewi, sosok dewasa yang penuh dengan kata bijak, tempat kami curhat jika ada masalah baik mengenai percintaan ataupun pekerjaan. Mereka adalah teman satu kos, gokil dan saling melengkapi. Kami kebetulan satu kantor juga.

"Nanti siang makan nasi Padang yuk!" Ajak Dhanty.
"Yaelah... nasi Padang melulu. Eh, mau nggak cobain Ayam Penyet dekat Pantai Timur?" Usul Krista yang sudah bosen diajak Dhanty makan nasi Padang hampir tiap hari.
"Vy, gimana? mau ikut? " Dhanty mengajak saya.

Kami berempat memang jarang terpisah saat makan siang. Berangkat dan pulang kerja pun kami selalu bersama. Walaupun Pangandaran adalah tempat yang tidak seluas kota Bekasi, tetapi di sinilah saya mendapatkan ketenangan hati. Bagaimana tidak nyaman, sekali dapat masalah kerjaan, pantailah tempat kami melepaskan kekacauan hati dan pikiran.

Hingga tibalah hari dimana kami harus berpisah karena mutasi ke berbagai daerah. Saya dapat cabang di Balikpapan, Dhanty di Bandung, Krista di Samarinda dan Dewi di Jakarta. Nggak kebayang sebelumnya, kami yang selalu kompak akan berpisah juga.

Farewell party kami rayakan di cafe Momento, pinggir Pantai Barat Pangandaran. Rekan-rekan kerja yang lain juga ikut merayakan acara perpisahan kami. Kartu remi sudah siap dimainkan. Yang kalah, hukumannya adalah dicoret dengan lipstik, baik laki-laki ataupun perempuan. Foto-foto selfie dengan gaya lucu, norak dan gokil mewarnai suasana malam itu.

"Vy, lu jangan lupain gw yah nanti." Bisik Dhanty sambil memeluk saya. Kami berempat saling berpelukan sambil tersenyum satu sama lain.

Air mata tidak sengaja turun karena mengingat kebersamaan kami selama training. Saya percaya bahwa persahabatan yang sesungguhnya tidak terhalang oleh jarak dan waktu. Akan ada dimana kami bisa saling bertemu lagi walaupun mempunyai kesibukan masing-masing.

**

Mobil jemputan sudah datang. Saya berpamitan dengan ibu kos.

"Neng, ibu bikinin kue buat bekal neng selama di perjalanan. Jangan lupain ibu ya. Hati-hati di jalan." Saya terharu. Bu Lisna masih sempat membuatkan kue untuk saya.

"Ingat pesan Ibu, kalau sudah sukses jangan lupain orang tua. Selalu kasih kabar ke mereka ya meskipun nggak tiap hari. " Bu Lisna tersenyum sambil melambaikan tangan untuk perpisahan. Semakin jauh dari pandangan, semakin saya merindukannya, merindukan sosok seorang Ibu.

Di dalam mobil saya mengecek apakah ada pesan buat saya. Saya cek whatsapp dan isinya membuat jantung saya berdebar. Tidak sangka saya mendapat pesan singkat dari seseorang di masa lalu. Seseorang yang pernah membuat hati saya terluka.

"Vivy... apa kabar?"

Kamis, 09 Oktober 2014

Merantau Untuk Kembali Pulang #1

Merantau Untuk Kembali Pulang
#1


Mungkin ada beberapa orang yang sudah meninggalkan jejak di beberapa kota dan akhirnya memilih untuk tinggal saja di tempat yang dipilihnya dan disebut "rumah". Saya salah satunya. Pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi membuat saya sudah mengelilingi beberapa kota di pulau Jawa dan Kalimantan. Beragam orang, budaya dan cerita ada di balik jejak yang saya tinggalkan di sana.

Pekerjaan pertama saya adalah di bidang penerbangan. Bekerja sebagai District Manager di pesawat perintis menuntut saya untuk melakukan pekerjaan dinas di beberapa kota. Diantaranya, Balikpapan, Samarinda dan Tarakan. Sedangkan pekerjaan kedua saya adalah sebagai Kepala Cabang di salah satu perusahaan swasta, dimana juga menuntut mobilitas tinggi. Mutasi atau perpindahan kerja dilakukan tidak kurang dari enam bulan.

Ada cerita mengapa saya nekat untuk ambil pekerjaan di luar pulau Jawa. Ada cerita patah hati yang meninggalkan bekas luka yang dalam. Cinta dan keluarga yang membuat saya untuk meninggalkan agar tidak tenggelam dalam kesedihan.

Dia adalah cinta pertama saya dan dia juga yang pertama kali membuat hati saya terluka teramat dalam. Lima tahun bersama dan saling mengungkapkan komitmen hati kini telah menjadi serpihan kenangan. Memorial indah kebersamaan dalam percakapan cerdas mengenai ketertarikan satu sama lain hanyalah tinggal retakan ingatan yang ingin dibuang.

Begitu pun harmonisasi keluarga yang separuh retak. Ketika orang tuamu tidak mempercayai apa yang ingin kamu impikan dan ingin kamu usahakan, semakin kamu ingin menentangnya. Ketika orang tuamu terlalu protektif terhadap anaknya, melarangmu keluar dari zona nyamanmu semakin kamu ingin keluar dari lingkaran itu. Itulah yang saya rasakan.

Karena kedua kondisi itulah yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk melarikan diri dari situasi yang dapat menenggelamkan diri dalam kegalauan hidup. Saya hanya ingin merasakan bahagia. Mencari tempat yang dapat membuat hati ini nyaman. Mencari tempat yang dapat saya sebut "rumah". Rumah, tempat saya menyandarkan hati saya dalam ketenangan hati dan pikiran.